Ramai
sekali sore ini. Bising suara sanak saudara ayah ibuku menjadikan rumah
sederhana ini semakin syahdu. Tepatnya hari minggu adalah hari dimana adik
terakhirku di aqiqoh. Umi ngabdatul karimah namanya. Dia adalah adik ke
tujuhku. Adik luar biasa, kenapa ? karena selama ibu mengandungnya banyak
sekali ujian dan rintangan yang menghadang. Terutama bapak yang kian bertambah
usia dan renta akan sakitnya.
Dalam
aqiqoh ini sengaja bapak membelikan dua ekor kambing. Satu untuk aqiqoh adik
baruku dan satunya lagi untuk mengaqiqoih ibu. Syukur Alhamdulillah rezeki kami
lancar hingga dapat mengadakan tasyakuran aqiqohan secara sederhana ini.
Angin-
angin sore nan sendu dan tersenyum. Dia menghalokan tangan pada adik baruku.
‘’
eman daging kambingnya, ayo dihangatkan nur!! ‘’ , kata bapak.
‘’kaya
kemarin lo yang dikecapi, enak’’, tambahanya.
‘’oke
pak..’, nur menjawab.
Siti
Nurkhafidzoh adalah anak pertama dari kedelapan saudaranya tersebut.
Perawakannnya tinggi namun kurus, selain karena sakit- sakitan kata orang anak
pertama itu mikir adik- adiknya. Yah
tanpa dipungkiri namanya juga anak pertama mau tak mau harus begitu.
‘’
harus bisa jadi contoh untuk adik- adiknya’’, pesen bapak yang ku ingat sampai
sekarang.
Acara
aqiqoh adik selesai si sulung kembali ke Jombang. Sudah 3 tahun lebih ia
mencari pengalaman di ‘’Darul Ulum’’. Harapan bapak saya dapat menjadi insan yang
kian barokah. Belum lama menginjak kaki di peterongan Jombang, saya dapat kabar
bahwa bapak harus operasi terkait dengan bisulnya. Sontak hatiku menjerit, ini
pertama kaliya bapak dioperasi.
‘’nur…
do’akan bapak kalau bisa teman- temanmu suruh membaca yasin, bapak mau operasi
kaki. Semoga lancer dan sehat kembali’’, rintih beliau.
‘’geh
pak… nur dan keluarga selalu berdo’a untuk kesehatan kita semua, bapak yang
cepet sehat geh..’’, air mataku mengalir.
Bapak
memang doyan sekali makan apalagi kalau melihat makanan tercecer beliau paling
tidak tega lalu memakannnya. Dari seluruh keluarga kami hanya bapaklah yang
paling senang dan juga suka daging kambing. Walau menderita hypertensi dan
diabetes beliau kalu sudah merasa sehat tidak ingat akan kedua penyakit
tersebut.
Hingga
selang beberapa minggu setelah acara aqiqohan beliau merasa terjadi sesuatu
dengan kaki kirinya. Pegal- pegal dan cenat cenut keluhnya.
‘’mak…
kenapa kaki bapak ya?’’, Tanyanya pada ibuku.
‘’
kelelahan paling pak..’’
Lama
dibiarkan kaki beliau kian membengkak. Dokter mengatakan itu hanya bisul biasa.
Diberi obat namun tak menghasilkan apapun. Akhirnya keluarga memutuskan untuk membawanya keRumah
sakit. Menimbang- nimbang Rumah sakit mana yang akan dimasuki, bu dokter
menyarankan rumah sakit yang agak jauh dari rumah yaitu RSU Banyumas.
Hanya
kurang beruntung, seluruh kamar penuh terisi. Akibatnya bapak harus menginap
beberapa hari di UGD. Pemeriksaan intensif dilakukan dengan cepat. Hingga para
dokter memutuskan untuk mengoperasi kaki kiri bapak.
Tiba-
tiba telepon genggamku berbunyi. Sayang sekali jaringan didalam ruangan itu tak
mendukung. Ku lihat tertera nama ‘’bapaku’’ yang mencoba menelpon. Sontak hati
kaget. Ada apa ini?.
‘’
dongakna nur… bapak delamaning arep operasi’’
Tak
terkira ku berguncang, ALLOH.. apalagi ini?.
‘’
geh pak… yayu selalu ndonga go keluarga kita, terutama bapak yang lagi dicoba
olehNYA. Yakin akana sembuh pak’’
‘’
ya matursuwun nur… ‘’. Dengan nada memelas bapaku mematikan telfonnya.
Dan
mulai dari itulah ku berjalan serasa mau menjatuhkan diri. Memandangpun seakan
fatamorgana melambai- lambai. Bising ramai kawan tak berarti sekali. Jiwa
seakan hendak terbang melewati belahan kota antara jombang- banyumas agar
baktiku sebagai anak bisa terbayarkan. Lagi- lagi terhalang oleh sistem
akademik yang memaksaku agar tetap dinegeri santri ini. Alloh alloh alloh. Ku
serahkan hanya padamu.
Detik-
detik kegentingan akan hal pertama yang baru saja dialami bapak terlalui. Operasi
kecil pada telapak kaki kiri atas beliau telah selesai. Tak selesai sampai
disitu ada hal yang lain rupanya yang dirasakan bapak. Cenat- cenut kaki seusai
operasi ditambah pusing yang kian menjadi, muntah- muntah. Makanan dan air yang
masuk ke mulut langsung keluar setelah beberapa saat dikunyahnya. Mendengar
kabar memprihatinkan ini saya langsung teringat akan sesuatu hal.
‘’
coba dibelikan air zam- zam dan kurma ‘’. Smsku pada adekku yang merawat bapak.
Semua
memang telah tertulis dari atas. Diri sedang tak bisa meninggalkan studi
praktek dalam hal ini yaitu pengamalan ilmu di perusahaan. Terus ku sabarkan
diri agar selalu tegar menghadapi kerikil taam ini dengan senyuman terindahku.
Walau kadang tetesan bening muncul tiba- tiba mengaliri pipiku. Yaaaa.. memang
ini romadhon terkesan di hidupku.
Lebaran
tinggal menunggu hari. Diri masih sibuk dengan praktek kerja sementara
kebanyakan masyarakat melakukan hal yang pasti dilakukan tatkala menyongsong
hari fitri tersebut yaitu mudik. 1 Syawal bertepatan pada hari kamis, sedangkan
kantor kerja praktekku mengumumkan bahwa libur umumnya dimulai hari kamis.
Ingin rasa diri izin 1 hari sehingga waktu bertemu sang Bapak lebih cepat.
Namun niat itu kami urungkan demi kesan baik di tempat kerja praktekku. Agar
diri pulang dengan lega dan sampai rumah dengan perasaan lega pula sehingga ku
putuskan untuk pulang hari senin sore.
Didampingi
sahabat praktek kerjaku, diri menunggu bus jurusan Jogjakarta. Subhanalloh…
ingin hati menaiki bus cepat agar sesegera mungkin sampai di kota gudeg
tersebut, namun rupanya bus tersebut terisi pennuh dari terminal Surabaya. Tak
ku sia-siakan waktu ku naiki saja bus ekonomi yang datang paing cepat.
Alhamdulillah… walau berdesak- desakkan, duduk dibawah dekat sang supir sirna
sudah oleh rasa bahagia akan berjumpa NASYAku tercinta. Perjalanan panjang
dimulai dan rezekiku datang di area madiun. Istimewa terasa setelah berpanas-
panasan duduk dibawah sekarang duduk dikursi. Angan- anganku mulai tak sadar.
Pohon- pohon jati di Ngawi melambai- lambai mengucapkan selamat jalan kepadaku.
Kedipan semangat lampu- lampu jalanan begitu menghangatkan hati yang rindu akan
suasana graha. Jam 12 tepat ku singgah di terminal Jogyakarta. Syukur langsung
disambut dengan bus jurusan Purwokerto jadi perkiraan sampai Gombong 3 pagi.
Bus melaju dengan semangatnya. Tak seperti bus surabayaan, bus didaerah
purwokerto memberikan nuansa musik tersendiri. Apalagi kalau melaju cepat
sekali hamper semua ornament yang ada dijendela ikut menyemangati supirnya.
Pukul 3 tepat bus ini mengantarkanku yang kan jumpa Bapakku hebatku. Ade laki-
lakiku telah menuggu sedari tadi. Segar udara dini hari mengiringiku sampai di
peraduan diri. Kesan waktu inilah menurutku waktu yang paling tak bisa
digantikan. Barokah sepertiga malam apalagi bulan Ramadhan, ditambah lagi ini
adalah hari- hari terakhir atau kita bisa menghadirkan malam Lailatul Qodar.
Subhanalloh banget saudaraku, diri telah sampai dirumah tercinta. Sambutan
dengan adik- adikku yang sedang sahur
kian membuatku ingin meneteskan beningnya mata airku. Tak ku patrikan kakiku,
langkahku menuju kamar Bapak. Mengahru biru sekali setelah ku salami Mamaku,
Bapaku dengan mencium kedua pipinya. Beliau meneteskan air mata berharganya
untuk kedua kalinya setelah dulu waktu menghantarkan diri waktu MTs ke
pondokku.
‘’mana
air sunan ampelnya?’’. Tanya beliau
‘’disimpen
dulu, yayu masih haid besok kalau sudah suci dido’ain dulu’’. Jawabku tegar.
‘’ini
foto kaki bapak setelah operasi’’. Katanya sambiil menunjukkan gambar
diponselnya.
‘’ALLOH….
Besar banget lubangnya pak’’
Khayalku
melayang lagi. Bagaiman bisa seperti ini. Semua aktifitas dilakukan bapak
dikamar. BAK, BAB, makan, minum dan semuanya dilakukan dikamar. Mamaku
membantunya dengan sabar. 1 hari lagi lebaran tiba.